Tayangan halaman minggu lalu

Minggu, 29 Januari 2017

LARANGAN PEMUTARAN WAYANG KARENA BUKAN AJARAN ISLAM

TIDAK ADA ALASAN UNTUK MELARANG PERTUNJUKAN WAYANG

Beberapa waktu ini pecinta wayang kulit, khususnya para dalang dihebohkan dengan spanduk yang dipasang oleh kelompok tertentu; bertuliskan larangan memutar pertunjukan wayang kulit karena dianggap tidak sesuai dan bukan merupakan ajaran agama yang dianutnya (baca: Islam). Tidak heran jika kemudian para dalang dan pecinta wayang kulit beramai-ramai membela diri dan balik menyerang terhadap larangan tersebut (termasuk saya). Kalangan pewayangan tentu juga punya landasan yang kokoh, bagaimanapun juga pertunjukan wayang kulit dianggap memiliki peran besar terhadap perkembangan penyebaran agama Islam di Jawa. Banyak referensi menuliskan bahwa Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam menggunakan Gamelan dan Wayang Kulit sebagai media dakwahnya. Keberhasilannya menyebarkan Islam oleh sebagian orang Jawa menimbulkan keyakinan bahwa Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang. Meskipun sebenarnya wayang sudah ada sejak dulu kira-kira pada abad ke 11 Masehi pada zaman Airlangga, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa wali sanga memiliki andil yang luar biasa terhadap perkembangan wayang di Jawa.
Dari sudut yang lain, pertunjukan wayang sudah dianggap sebagai cerminan atau refleksi dari budaya orang Jawa itu sendiri. Sehingga bukan hal asing lagi jika pertunjukan wayang diakui sebagai pertunjukan yang syarat nilai, yang juga merupakan tontonan, tuntunan, sekaligus penuh tatanan. “Selama masih ada orang Jawa, maka wayang juga akan tetap ada” begitulah kira-kira penturan para empu pewayangan yang sering saya dengar ketika kuliah dulu. Dan hal itu saya yakinni sebagai pendapat yang cukup realistis, karena keduanya (wayang dan orang Jawa) ibarat dua sisi koin; tentu Anda paham maksud saya.
Pertunjukan wayang kulit sejak masa orde baru atau bahkan hingga sekarang sering kali digunakan sebagai media untuk menyampaikan program-program pemerintah (jika tidak boleh dianggap sebagai kegiatan politik). Pertunjukan wayang mampu menarik antusias banyak penonton, misalnya saja, dalang sekaliber Anom Soeroto ketika pentas mampu menarik jumlah pengunjung hingga ratusan atau bahkan ribuan; hal ini juga berlaku bagi dalang-dalang lainnya. Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin pertunjukan wayang menjadi salah satu senjata paling ampuh sebagai media propaganda pemerintah. Demikian halnya dengan fenomena spanduk larangan tersebut, yang katanya juga berbau aroma kepentingan politik oleh kelompok tertentu yang dianggap sering menggelar pertunjukan wayang.
Lantas “mengapa pertunujukan wayang yang penuh nilai tersebut dilarang oleh kelompok umat muslim tertentu?”, inilah pertanyaan yang sedang booming, meskipun sebenarnya ini hanya pertanyaan klasik yang kebetulan sekarang menjadi viral saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertunjukan wayang kulit purwa sebenarnya memang berakar dari kebudayaan India, khususnya agama Hindu. Epos Mahabharata dan Ramayana sebagai sumber cerita lakon pertunjukan wayang adalah murni sebagai pesan nilai agama Hindu. Tetapi perlu diingat, bahwa Mahabharata yang digunakan oleh pewayangan Jawa dewasa ini telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dari sumber aslinya. Nilai-nilai budaya India yang dipandang tidak sesuai dengan nilai Jawa banyak yang disesuaikan. Sebagai contoh, Drupadi di India adalah istri kelima Pandawa, tetapi dalam pewayangan Jawa diceritakan bahwa Drupadi hanya istri dari Puntadewa. Hal ini tentu dipengaruhi oleh nilai Jawa yang tidak mengenal budaya “poliandri”. Selain itu, cerita wayang juga tidak mutlak bermuatan nilai Hindu ataupun Jawa saja, bahkan muatan Islam atau pun Kristen juga ada di dalamnya. Sebagai contoh kecil, kita dapat menyimak pada lakon Laire Semar. Dalam lakon tersebut kehadiran tokoh Sulaiman yang ternyata memiliki kapasitas peran yang “hampir sama” dengan kapasitas Nabi Sulaiman dalam Islam menunjukan bagaimana adanya sinkretisme antara Islam-Jawa-Hindu. Lakon tersebut juga menghadirkan tokoh Prawan Maryam dengan anaknya bayi kecil (baca: Yesus), ini berarti juga memuat sinkretisme Jawa-Hindu-Kristen. Artinya, jika kita berbicara falsafah wayang purwa maka tidak lepas dari sinkretisme berbagai nilai, yaitu Jawa, Hindu, Islam, Kristen, dan mungkin ajaran lainnya yang belum saya ketemukan. Wayang bukan suatu kesenian yang ber-idium tunggal, melainkan seperti sebuah adonan dalam wadah yang telah tercampur aneka resep dan bumbu; tetapi tetap memiliki rasa yang enak; jika itu sebuah makanan maka tetap membutuhkan kesatuan nama yang tunggal (utuh), tetapi makna “utuh” bukan sebagai representasi otoritas ke-esaan melaikan sebuah otoritas kolektif. Oleh sebab itu, jika kemudian ada suatu golongan yang melarang wayang maka itu bisa diibaratkan hanya karena orang tersebut “tidak selera” atau “tidak boleh” mengkonsumsi makanan tersebut. Alasannya tentu bervariatif, bisa karena tidak suka, tidak enak, tidak boleh dimakan karena sebuah pantangan (misalkan dia sakit), atau karena alasan apapun. Pastinya itu hanya bersifat subjektif atau selera personal, dan sama sekali tidak merubah “rasa” atau nilai hakekat dari makanan (wayang) itu sendiri.
Uraian tersebut menunjukan bagaimana seharusnya kita mampu berpikir bijak dan kreatif dalam menyikapi. Saya pikir satu hal yang perlu dipegang dan dipakai sebagai landasan utama dalam kegiatan apapun termasuk kesenian, yaitu berpegang pada “nilai hakekat hidup kemanusian”. Selama itu menjadi akar dari sebuah karya maka persoalan asumsi dan opini yang subjektif bukan menjadi alasan sebagai sebuah “kemunduran” atau bahkan “kehancuran”.
Pada akhirnya, jika kita melihat harmonisasi wayang yang secara historis ikut berperan serta terhadap perkembangan Islam di Jawa; artinya dalang juga berdakwah dan bersyiar pada masa itu; dan kompleksitas wayang yang memuat ajaran Islam meskipun hanya “tersirat”; semestinya dapat digunakan sebagai orientasi religius yang akhirnya lebih Islami, nJawani, menyejukan, dan bukan yang radikal, anti budaya lokal, atau bahkan anarkis. Budaya dan agama ibarat dua sisi besi rel kereta api, berjalan berdampingan, serasi, sejajar, saling melengkapi, dan saling membutuhkan; karena jika salah satunya rusak atau tiada maka akan menimbulkan bencana. Sebelum saya akhiri, mungkin kita perlu kembali memegang teguh pendapat empu-empu terdahulu, bahwa “selama masih ada orang nJawani, maka Wayang juga akan tetap ada”. Apakah sekarang masih ada orang nJawani? Silahkan Anda menjawabnya sendiri.
Demikianlah sekelumit pikiran yang merasuk dalam hati saya ketika melihat fenomena yang akhir-akhir ini cukup meresahkan. Terlepas dari kepentingan apapun baik bagi saya atau dari pihak manapun, yang pasti saya sangat berharap wayang tetaplah lestari sebagai simbol kebudayaan orang Jawa yang arif dan bijaksana. Sehingga tidak ada alasan untuk membencinya apalagi menghancurkannya. Salam budaya.
(Catur Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar