Tayangan halaman minggu lalu

Sabtu, 08 Juli 2017

Musik Angklung

Angklung
photo by www.gambarberkata.com
(Catur Nugroho)
Angklung merupakan alat musik multitonal, artinya alat tersebut memiliki nada ganda. Angklung berkembang dalam masyarakat Sunda di Jawa Barat. Alat musik ini terbuat dari bambu kemudian dimainkan dengan cara digoyangkan. Bunyi dihasilkan oleh benturan badan pipa bambu sehingga menimbulkan nada yang bergetar pada susunan 2,3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran. 
Angklung merupakan salah satu alat musik Nusantara yang memperoleh pengakuan dari UNESCO pada tahun 2010 sebagai "Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia".

Asal-usul Angklung
Angklung diperkirkan sebagai warisan dari bagian relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara. Referensi pustaka mengenai Angklung baru muncul mulai abad ke-12 sampai abad ke-16. Musik Angklung bagi sebagian masyarakat Sunda yang agraris selalu identik dengan mitos Dewi Sri. Oleh karena itu, sering ditemui mereka menggunakan musik Angklung dalam ritual-ritual penanaman padi. Lebih dari itu, alunan suara Angklung dipercaya mampu memikat Dewi Sri untuk turun ke dunia sehingga tanaman padi tumbuh subur.

Bahan Dasar Pembuatan Angklung
Ada dua jenis bambu yang dianggap bagus sebagai bahan dasar pembuatan Angklung, yaitu jenis bambu hitam (wulung) dan jenis bambu ater apabila mengering akan berwarna kuning keputihan.

Filosofi Fungsi Angklung
Angklung dipercaya sebagai alat musik penggugah semangat sejak era kerajaan Sunda hingga pada zaman penjajahan Belanda. Oleh sebab itu, pada masa penjajahan Belanda sempat melarang masyarakat Sunda untuk memainkan Angklung.

Perkembangan Musik Angklung
Seiring perkembangan zaman, musik Angklung mulai tersebar ke seluruh Jawa, Sumatra, hingga Kalimantan. Bahkan musik Angklung sempat berkembang di Thailand pasca misi kesenian dari Indonesia ke negara tersebut. Pada sekitar tahun 1966 ada tokoh angklung yang mulai mengembangkan teknik laras pelog, slendro, dan madenda. Selain itu, dia juga mulai mengajarkan teknik memainkan Angklung kepada komunitas-komunitas.

Jenis Angklung
Terdapat beberapa jenis Angklung, yaitu:

  1. Angklung Kanekes, yang terdiri atas indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
  2. Angklung Reyog, merupakan Angklung dari Ponorogo Jawa Timur yang digunakan untuk mengiringi tarian reyog. 
  3. Angklung Banyuwangi
  4. Angklung Bali
  5. Angklung Dogdog Lojor
  6. Angklung Gubrag
  7. Angklung Badeng
  8. Angklung Padaeng
  9. Angklung Sarinande
  10. Angklung Toel
  11. Angklung Sri Murni
Teknik Permainan Angklung
Memainkan angklung sangatlah mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan, sementara tangan lainnya menggoyangkannya hingga berbunyi. Paling tidak ada tiga teknik dasar memainkan Angklung, yaitu:
  • kurulung (getar)
  • centok (sentak)
  • tangkep
Penutup
Demikianlah sekilas informasi menganai musik Angklung. Semoga bermanfaat bagi Anda yang ingin belajar  Angklung atau paling tidak kita mengenal salah satu musik khas nusantara yang indah ini. Jika menurut Anda informasi ini penting silahkan dibagikan agar banyak yang mulai mengenal musik Angklung dan tentunya lebih cinta pada budaya kita sendiri. Terimakasih.

Jumat, 07 Juli 2017

KESENIAN KENTRUNG

Kesenian Kentrung
Photo by inilahblitar.blogspot.com
(Penulis: Catur Nugroho)
Kesenian Kentrung adalah seni bertutur atau bercerita dengan berpantun. Dalam pertunjukannya biasa diiringi oleh alat musik rebana. Seiring perkembangan zaman instrumen yang digunakan untuk mengiringi Kesenian Kentrung tidak hanya rebana, melainkan ditambah alat lainnya, seperti kendang, kecrek, kethuk, kenong, saron, dan jedhor. Seni ini dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu dengan panjak.

Penyebaran Kesenian Kentrung
Kesenian Kentrung hidup dan berkembang tersebar di daerah-daerah di Jawa Timur, yaitu wilayah pesisir wetan, meliputi Tuban, Blitar, Kediri, Tulungagung, dan Ponorogo. Selain itu, Kesenian Kentrung juga ada di daerah Grobogan, Blora Jawa Tengah, dan di Madura serta Bondowoso. 

Perkembangan Kesenian Kentrung
Tidak jauh berbeda dengan nasib kesenian lokal lainnya, saat ini keberadaan Kesenian Kentrung dapat dikatakan hampir punah. Bagaimana tidak, menurut data hingga tahun 2013 di daerah Blora hanya ada satu orang dalang Kesenian Kentrung, yakni Januri (43 tahun). Kenyataan seperti ini meyebabkan Kesenian Kentrung tidak lagi eksis di kalangan masyarakat, apalagi generasi muda. Dapat diperkirakan bahwa Kesenian Kentrung hanya akan tinggal sejarah jika tidak ada generasi penerusnya. Oleh sebab itu, pemerintah dalam ini sepatutnya memberikan epresiasi serta perhatian khusus bagi Kesenian Kentrung sehingga keberadaannya dapat dipertahankan sebagai salah satu aset budaya yang luhur. 

Sejarah Kesenian Kentrung di Blora
Referensi menyebutkan bahwa Kesenian Kentrung di Blora sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1915. Tidak dapat dipastikan siapa orang yang pertama kali menciptakan kesenian kentrung tersebut. Beberapa tokoh seniman ketrung yang dikenal oleh masyarakat Blora ialah Reso Kentrung dan Nugroho. Perkembangannya hanya ditularkan melalui media oral atau lisan. Pada generasi berikutnya, Kesenian Kentrung di Blora diteruskan oleh dua dalang yang cukup populer, yaitu Sutrisno (1935-2003) mulai tahun 1965; dan Mbah Yas pada tahun 1983. Sutrisno adalah seniman yang eksis di bidangnya, ia belajar kentrung sejak masih muda. Dia juga sudah sering pentas dalam berbagai acara baik kegiatan formal maupun informal. Dia meninggal dunia pada tahun 2003 di usia ke 68 yang kemudian karirnya diteruskan oleh anaknya yang ketiga, yaitu Januri. 

Unsur Estetis dan Etis Kesenian Kentrung
Sebagaimana sebuah kesenian tradisi maka sudah pasti dalam pertunjukannya menampilkan unsur-unsur estetis dan etis di dalamnya. Unsur estetis dalam Kesenian Kentrung dapat dicermati pada sajinnya yang memperhitungkan tinggi-rendah, keras-lunak, tempo, irama, dan aksentuasi suara sehingga lebih dinamis dan tidak monoton. Ekspresia wajah serta bahasa tubuh yang dipadukan dengan harmonisasi iringannya menempatkan Kesenian Kentrung sebagai sebuah seni lokal yang penuh estetika (keindahan). Adapun nilai etis dalam Kesenian Kentrung dapat dipahami pada makna atau pesan yang disampaikan melalui sebuah cerita. Nilai-nilai yang ditampilkan selalu mengarah pada kebaikan, budi pekerti, sopan santun, dan sebagainya. Nilai-nilai Islami juga begitu kental dalam pertunjukan tersebut.

Bentuk Sajian Seni Kentrung Blora
Kesenian Kentrung pada dasarnya ditampilkan oleh penyaji yang berjumlah antara satu sampai tiga orang yang beragama Islam. Instrumen yang digunakan, yaitu kendang, ketipung, dan kethuthung. Dalang memegang alat kentrung yang sekarang berupa rebana berjumlah tiga buah dengan ukuran yang berbeda-beda. Adapun panggung yang digunakan biasanya berukuran 1,5 m x 2 m. Adapun cerita yang dipentaskan dalam pertunjukan kentrung dibagi menjadi dua jenis, yaitu cerita bernafaskan Islam dan cerita mengenai sejarah atau legenda. Syair, parikan, dialog, dan cerita disampaikan dengan nada slendro, pelog, dan diatonis. Waktu pertunjukan biasanya pada malam hari dengan durasi yang bervariasi, antara satu atau dua jam bahkan semalam suntuk. 

Pengembangan Kesenian Kentrung
Keberadaann kesenian kentrung kian hari semakin menurun eksistensinya. Masyarakat dipandang kurang begitu tertarik untuk menikmatinya. Oleh karena itu, para seniman terus berjuang untuk bertahan, yaitu salah satunya dengan meningkatkan kualitas pertunjukannya, misalkan penambahan cerita baru yang lebih komunikatif. Di samping itu, pemerintah setempat (Kabupaten Blora) bekerjasama dengan RSPD telah menyiarkan pertunjukan kentrung secara berkala.




Sumber Pustaka:
Sunarto, "Kesenian Kentrung: Makna, Fungsi, dan Pengembangannya". Dalam Jurnal Lakon Vol. X No. 2, Desember 2013.

Selasa, 14 Februari 2017

MENGENAL PERTUNJUKAN WAYANG ORANG (Wayang Wong)

Foto Tari Driasmara
seninesia.blogspot.com
(Penulis, Catur Nugroho)
Wayang Wong atau Wayang Orang merupakan salah satu kesenian tradisional Jawa yang dalam pertunjukannya memuat unsur kesenian tari, karawitan, dan drama. 

Sejarah Wayang Wong
Kesenian Wayang Wong muncul pada pertengahan abad ke XVIII di Kasultanan Yogyakarta dan Istana Mangkunegaran, Surakarta. Namun demikian,  apabila merujuk pada disertasi R.M Soedarsono bahwa pertunjukan Wayang Wong diperkirakan sudah ada sejak zaman Mataram-Hindu pada abad X Masehi. 
Mangkunegara I (1757-1795) merupakan pencipta Wayang Wong di Istana Mangkunegaran. Adapun pemainnya adalah para abdi di lingkungan istana. Wayang Wong di Mangkunegaran pertama kali dipentaskan untuk umum pada tahun 1760 dengan mengambil Lakon Bambang Wijanarko. Sedangkan Wayang Wong di Keraton Yogyakarta lahir pada masa kepemimpinnan Hamengku Buwana I. Dipentaskan pertama kali pada tahun 1750 dengan menampilkan Lakon Gandawardaya.

Perkembangan Wayang Wong
Perkembangan Wayang Wong di Istana Mangkunegaran mengalami kemunduran sejak surutnya pemerintahan Mangkunegara I yang kemudian digantikan oleh Mangkunegara II dan Mangkunegara III. Kedua pemimpin tersebut dipandang kurang begitu memerhatikan tentang kesenian. Baru setelah masa kepemimpinan Mangkunegara V (1881-1896) pertunjukan Wayang Wong mulai terjadi peningkatan. Beberapa aspek pertunjukan baik itu penari, kostum, lakon, rias busana, atau pun fungsi sajiannya mulai diperbaiki dan disempurnakan. Pada masa itu pula kualitas dan kuantitas pertunjukan Wayang Wong mengalami kemajuan yang signifikan. Bahkan di luar istana kemudian muncul kelompok Wayang Wong yang dipimpin oleh saudagar Cina bernama Gan Kam pada tahun 1895. Pada era kekuasaan Mangkunegara VII pertunjukan Wayang Wong semakin memperoleh perhatian dari pihak istana, yaitu ingin me-masyarakatkan Wayang Wong di luar tembok istana. Ide tersebut semakin semarak ketika pihak Keraton Surakarta, yaitu Paku Buwana X (1893-1939) ikut mendukung, yaitu dengan mementaskan pertunjukan Wayang Wong di Balekambang, Taman Sriwedari (miliki Keraton Surakarta yang didirikan tahun 1901), dan di pasar Alun-alun Utara Surakarta. Selanjutnya, untuk mendukung eksistensi pertunjukan Wayang Wong maka dibuatlah gedung di pusat Kota Surakarta, yaitu Gedung Sana Harsana. Barulah pada tahun 1922 pertunjuakan Wayang Wong mulai digelar secara komersial dan mulai masuk ke siaran radio. Pada masa-masa itu pertunjukan Wayang Wong begitu diminati oleh masyarakat di lingkungan Surakarta.
Salah satu perkembangan Wayang Wong yang cukup berarti terjadi ketika masa pemerintahan Mangkunegara V, terutama pada aspek busana atau kostum. Awalnya busana yang dikenakan oleh para pemain adalah busana wireng, tetapi akhirnya atas prakarsa Mangkunegara V mulai dibuatkan busana yang mengambil dari busana wayang purwa, seperti irah-irahan, kelat bahu, sumping, praba, dan uncal praba. 
Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, ketika diadakan pentas di Pendapa Mangkunegaran dengan lakon Sembadra Dados Ratu Ing Praja Nusa Tembini terjadi revolusi pemain, yang awalnya pemaing wayang orang hanya dilakukan oleh penari putra saja (meskipun memerankan tokoh putri) akhirnya dimainkan oleh penari putra dan putri.
Sejak turunnya Mangkunegara VII yang kebetulan bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia ke II berakibat menurunnya eksistensi pertunjukan Wayang Wong.
Salah satu group atau perkumpulan yang paling tua dan profesional adalah Wayang Wong Sriwedari yang didirikan pada tahun 1911. Para pemainnya adalah abdi dari keraton, sehingga mereka juga memperoleh upah dari keraton pula. Pada masa pemerintahan Paku Buwana X Wayang Wong Sriwedari mengalami perkembangan yang pesat baik secara kuantitas maupun kualitas. Lahirnya penari-penari hebat di kalangan WO (wayang orang) Sriwedari serta dibangunnya gedung wayang orang di Sriwedari pada tahun 1928-1930 merupakan salah satu simbol kejayaan WO Sriwedari. 
Pada masa setelah kemerdekaan RI kemudian WO Sriwedari mulai dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Surakarta. Para Pemainnya mulai dialihkan sebagai pegawai pemerintah. Namun demikian, pada tahun 1980 an pertunjukan WO Sriwedari mulai mengalami kemunduran yang disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Akan tetapi, tampaknya dewasa ini pertunjukan WO sriwedari mulai terjadi peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Tentunya, kita berharap bahwa pertunjukan Wayang Wong akan selalu eksis dan terus hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat pendukungnya.

Sumber Cerita Wayang Wong
Pertunjukan Wayang Wong mengambil cerita dari epos Mahabharata. Dalam perkembangannya kemudian juga mengambil cerita dari kisah Ramayana.

Struktur Pertunjukan Wayang Orang Gaya Surakarta
Struktur pertunjukan wayang orang gaya Surakarta mengacu pada pola pertunjukan wayang kulit purwa, seperti jejer, paseban njawi, budhalan, dan seterusnya. Namun karena pertunjukan wayang orang hanya pentas dalam durasi yang relatif pendek, maka hanya adegan-adegan baku saja yang ditampilkan. 

Dalam pertunjukan Wayang Wong juga terdapat peran "dalang". Kapasitas serta tugasnya tidak jauh berbeda dengan peran dalang dalam pertunjukan wayang kulit purwa, misalnya melakukan dhodhogan, sulukun, pocapan, janturan; kecuali ginem dilakukan oleh pemain (penari).

Penutup
Kira-kira demikianlah sedikit review saya tentang pertunjukan Wayang Wong. Sebenarnya masih banyak jenis Wayang Wong lainnya, tetapi tidak mungkin saya tulis di sini semua. Kesempatan yang lain akan coba saya ulas untuk materi Wayang Wong lainnya.
Seperti biasa, saran, kritik, dan sanggahan selalu menjadi bagian penting dari koreksi terhadap tulisan ini; sehingga akurasi datanya semakin valid dan mampu berguna bagi khalayak orang. Salam Budaya. Terimakasih.

Sabtu, 11 Februari 2017

KALENDER JAWA (neptu dina, pasaran, sasi, taun)

(Penulis, Catur Nugroho)
Orang Jawa dikenal sebagai salah satu suku masyarakat yang memiliki kekayaan serta kompleksitas kebudayaan yang luar biasa. Salah satunya ialah kalender Jawa. Mereka memiliki pola penghitungan kalender tersendiri yang berbeda dengan kalender Masehi, kalender Islam, kalender Cina, ataupun kalender lainnya. Meskipun memiliki beberapa persamaan di antara kalender yang sudah ada, tetapi kalender Jawa memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan ini di antaranya bahwa dalam kalender Jawa, setiap dina (hari), pasaran (pekan), sasi (bulan), dan taun (tahun) memiliki neptu atau nilai. oleh karena itu, nilai yang berupa angka tersebut sering kali digunakan sebagai acuan atau dasar dari sebuah perhitungan, baik itu perhitungan pernikahan, punya hajat, mendirikan rumah, atau lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat neptu di setiap rincian dina, pasaran, sasi, taun sebagai berikut.

Neptu Dina
Akad (minggu)   ::  neptu 5
Senen (senin)     ::  neptu 4
Selasa (selasa)   ::  neptu 3
Rebo (rabu)        ::  neptu 7
Kemis (kamis)    ::  neptu 8
Jumuah (jumat)  ::  neptu 6
Setu (sabtu)        ::  neptu 9

Neptu Pasaran
Kliwon       ::  neptu 8
Legi           ::  neptu 5
Pahing      ::  neptu 9
Pon           ::  neptu 7
Wage        ::  neptu 4

Neptu Sasi
Sura                    ::  neptu 7                     
Sapar                  ::  neptu 2
Rabingulawal     ::  neptu 3
Rabingulakir      ::  neptu 5
Jumadilawal      ::  neptu 6
Jumadilakir       ::  neptu 1
Rejeb                 ::  neptu 2
Ruwah               ::  neptu 4
Pasa                  ::  neptu 5
Sawal                ::  neptu 7
Dulkaidah         ::  neptu 1
Besar                 ::  neptu 3

Neptu Taun
Alip           ::  neptu 1
Ehe           ::  neptu 5
Jimawal   ::  neptu 3
Je             ::  neptu 7
Dal           ::  neptu 4
Be            ::  neptu 2
Wawu      ::  neptu 6
Jimakir   ::  neptu 3

Berdasarkan paparan tersebut tampak bahwa setiap hari, bulan, tahun memiliki nilainya masing-masing. Nilai-nilai yang berupa angka tersebutlah yang sering digunakan sebagai rumusan untuk melakukan kegiatan atau meramalkan nasib bagi Orang Jawa. Sebagai contoh, misalnya ketika akan meramalkan cocok atau tidaknya sepasang pengantin berdasarkan weton (hari kelahiran), pengantin pria lahir pada Jumat Kliwon (neptu 6 + 8 = 14, dibagi 9, sisa 5; pegantin wanita lahir pada Jumat Pahing (neptu 6 + 9 = 15, dibagi 9, sisa 6). Jadi 5 + 6 = 11 dalam perhitungan pernikahan artinya cepak rejekine atau lancar rejekinya. Contoh tersebut hanya sebagian kecil saja, sebab masih banyak lagi perhitungan-perhitungan lainnya. Perlu dimengerti pula bahwa orang Jawa sangat sering atau bisa dipastikan selalu melakukan perhitungan "hari baik "(petung dina) ketika akan melakukan kegiatan atau peristiwa penting.
Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu kalender Jawa mulai tidak begitu digunakan oleh sebagian orang Jawa. Hal ini tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) masyarakat Jawa banyak yang tidak mengenal kalender Jawa; (2) penggunaan kalender Masehi yang digunakan oleh mayoritas masyarakat di Indonesia menutup ruang berkembangnya kalender Jawa; (3) Kalender Jawa dipandang sebagai kalender yang memiliki perhitungan yang lebih rumit jika dibandingkan dengan kalender Masehi, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya; (4) Kalender Jawa yang banyak perhitungan dipandang kurang sesuai dengan ajaran Islam, terlebih Islam sudah memiliki kalender sendiri. Beberapa alasan tersebutlah yang paling tidak mempengaruhi terhadap menurunnya eksistensi Kalender Jawa. Meskipun demikian, dalam realitanya masyarakat Jawa masih banyak yang menggunakan perhitungan kalender Jawa khususnya ketika akan melaksanakan perkawinan atau punya hajat. Menurut pengamatan saya, se-modern apapun tipe manusia Jawa, nyatanya hampir sebagian besar masih menggunakan perhitungan Jawa ketika akan melangsungkan perkawinan.
Terlepas dari percaya dan tidak percaya itu kembali lagi kepada keyakinan setiap individu masing-masing. Poin penting yang ingin saya sampaikan bahwa pada dasarnya kita (orang Jawa) wajib menjaga dan melestarikan pola perhitungan kalender Jawa sebagai aset kebudayaan yang memiliki nilai tinggi, sehingga jangan sampai ilmu pengetahuan yang sedemikian luar biasa ini kemudian hilang ditelan masa. Bagiamanapun juga untuk merumuskan kalender tersebut tentu bukan lah perkara yang mudah. Pada kesempatan yang lain, saya akan memaparkan tentang sejarah lahirnya kalender Jawa. Pada akhirnya, mari kita merenung dan mulai berbangga sebagai masyarakat Indonesia pada umumnya, serta masyarakat Jawa khususnya yang memiliki aneka kebudayaan yang sungguh luar biasa ini. Dan saya sangat yakin bahwa masih banyak pengetahuan-pengetahuan lainnya di luar (Jawa) sana di bumi nusantara ini.
Seperti biasa, saran, kritik, atau sanggahan saya persilahakan untuk memperbaiki informasi ini sehingga lebih akurat dan bermanfaat bagi banyak orang. Terimakasih.
Salam Budaya.

Referensi
Kitab Primbon; Betaljemur Adamakna. Soemodiddjojo Mahadewa, 2008. Yogyakarta.

Kamis, 09 Februari 2017

MENGENAL TOKOH GATUTKACA SATRIA DARI PRINGGADANI

(Penulis, Catur Nugroho)
Tokoh Gatutkaca merupakan salah satu figur yang cukup terkenal dalam dunia pertunjukan wayang kulit. Dia dikenal sebagai sosok kesatria yang kuat, tangguh, dan berjiwa mulia. Gatutkaca merupakan anak dari pasangan Bima dengan Arimbi. Gatutkaca adalah anak kedua dari tiga bersaudara, yaitu yang pertama Antareja, kedua Gatutkaca, dan ketiga Antasena. Gatutkaca memiliki banyak nama, antara lain: Tetuka, Purbaya, Kacabawana, Kacanagara, Guritna, dan Arimbatmaja.
Kisah kehebatan Gatutkaca sudah diawali sejak kelahirannya. Dia dilahirkan sebagai bayi yang kuat, hingga pusarnya saja sulit untuk dikethok (dipotong) dari bagian tubuhnya. Berbagai senjata digunakan untuk memotong pusar sang bayi, namun tidak ada yang berhasil. Barulah kemudian ada salah satu pusaka dari dewa yang berhasil dibawa oleh Permadi yaitu pusaka Warangka Kunta Wijayandanu yang kemudian berhasil memotong pusar tersebut. Akan tetapi, setalah terpotong justru pusaka warangka tersebut masuk menjadi satu ke tubuh bagian pusar sang Gatutkaca. 
Belum beranjak dewasa pun, Gatutkaca sudah diminta oleh para dewa untuk menjadi "jago" agar bersedia menyingkirkan seorang raja rasaksa bernama Prabu Kala Pracana dengan patihnya Sekipu. Karena waktu itu tetuka masih kecil, maka dia kemudian "dijedi" dilebur dalam kawah candradimuka bersama dengan senjata-senjata yang luar biasa hebatnya. Seketika setelah dilebur Gatutkaca pun menjadi dewasa dan sangat gagah. Akhirnya Gatutkaca berhasil membunuh Kala Pracana dan Patih Sekipu. Atas keberhasilannya, Gatutkaca memperoleh anugerah bahwa kelak akan dijadikan dewa meskipun dalam waktu yang tidak cukup lama.
Dalam perjalanan hidupnya, Gatutkaca dikisahkan sebagai figur yang sangat sakti, kuat, tangguh, dan selalu menang ketika perang. Saking kuatnya dia dijuluki otot kawat balung wesi, otot dari kawat dan tulangnya bagaikan besi. Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Gatutkaca ialah kemampuannya terbang di angkasa. Kesaktian ini tidak lain oleh karena dia memiliki pakaian berupa Kotang Antrakusuma.
Gatutkaca ketika menginjak dewasa kemudian dinobatkan sebagai raja di kerajaan Pringgandani. Penobatannya sebagai raja pun sungguh rumit sebab pamannya Brajadhenta berniat merebut kedudukan singgasana tersebut, tetapi atas bantuan Brajamusthi akhirnya Gatutkaca berhasil ditetapkan juga sebagai raja. Diceritakan pula bahwa Gatutkaca kemudian menikah dengan Dewi Pregiwa.
Pada peristiwa perang Baratayuda, Gatutkaca diangkat sebagai senapati di pihak Pandawa. Dia berhadapan dengan Adipati Basukarna sebagai senapati di pihak Kurawa. Sungguh menyedihkan karena pada akhirnya Gatutkaca gugur di tangan Basukarna. Pusaka Kunta Wijayandadu milik Adipati Karna menembus ke bagian perut (pusar) Gatutkaca hingga kematian menjemputnya. Meskipun gugur di medan perang, Gatutkaca tetaplah dianggap sebagai pahlawan negara bagi kerajaan Amarta.
Demikianlah sekilas tentang deskripsi tokoh Gatutkaca, sekiranya dapat membantu bagi khalayak umum yang ingin mempelajari dan mengenal tentang tokoh-tokoh dalam wayang kulit purwa. Banyak kata dan penjelasan yang sekiranya kurang tepat silahkan disampaikan kepada penulis (Catur Nugroho) agar perbaikan segera dapat dilakukan sehingga informasi padat ini akan semakin akurat.Terimakasih. Salam Budaya.

Minggu, 29 Januari 2017

LARANGAN PEMUTARAN WAYANG KARENA BUKAN AJARAN ISLAM

TIDAK ADA ALASAN UNTUK MELARANG PERTUNJUKAN WAYANG

Beberapa waktu ini pecinta wayang kulit, khususnya para dalang dihebohkan dengan spanduk yang dipasang oleh kelompok tertentu; bertuliskan larangan memutar pertunjukan wayang kulit karena dianggap tidak sesuai dan bukan merupakan ajaran agama yang dianutnya (baca: Islam). Tidak heran jika kemudian para dalang dan pecinta wayang kulit beramai-ramai membela diri dan balik menyerang terhadap larangan tersebut (termasuk saya). Kalangan pewayangan tentu juga punya landasan yang kokoh, bagaimanapun juga pertunjukan wayang kulit dianggap memiliki peran besar terhadap perkembangan penyebaran agama Islam di Jawa. Banyak referensi menuliskan bahwa Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam menggunakan Gamelan dan Wayang Kulit sebagai media dakwahnya. Keberhasilannya menyebarkan Islam oleh sebagian orang Jawa menimbulkan keyakinan bahwa Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang. Meskipun sebenarnya wayang sudah ada sejak dulu kira-kira pada abad ke 11 Masehi pada zaman Airlangga, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa wali sanga memiliki andil yang luar biasa terhadap perkembangan wayang di Jawa.
Dari sudut yang lain, pertunjukan wayang sudah dianggap sebagai cerminan atau refleksi dari budaya orang Jawa itu sendiri. Sehingga bukan hal asing lagi jika pertunjukan wayang diakui sebagai pertunjukan yang syarat nilai, yang juga merupakan tontonan, tuntunan, sekaligus penuh tatanan. “Selama masih ada orang Jawa, maka wayang juga akan tetap ada” begitulah kira-kira penturan para empu pewayangan yang sering saya dengar ketika kuliah dulu. Dan hal itu saya yakinni sebagai pendapat yang cukup realistis, karena keduanya (wayang dan orang Jawa) ibarat dua sisi koin; tentu Anda paham maksud saya.
Pertunjukan wayang kulit sejak masa orde baru atau bahkan hingga sekarang sering kali digunakan sebagai media untuk menyampaikan program-program pemerintah (jika tidak boleh dianggap sebagai kegiatan politik). Pertunjukan wayang mampu menarik antusias banyak penonton, misalnya saja, dalang sekaliber Anom Soeroto ketika pentas mampu menarik jumlah pengunjung hingga ratusan atau bahkan ribuan; hal ini juga berlaku bagi dalang-dalang lainnya. Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin pertunjukan wayang menjadi salah satu senjata paling ampuh sebagai media propaganda pemerintah. Demikian halnya dengan fenomena spanduk larangan tersebut, yang katanya juga berbau aroma kepentingan politik oleh kelompok tertentu yang dianggap sering menggelar pertunjukan wayang.
Lantas “mengapa pertunujukan wayang yang penuh nilai tersebut dilarang oleh kelompok umat muslim tertentu?”, inilah pertanyaan yang sedang booming, meskipun sebenarnya ini hanya pertanyaan klasik yang kebetulan sekarang menjadi viral saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertunjukan wayang kulit purwa sebenarnya memang berakar dari kebudayaan India, khususnya agama Hindu. Epos Mahabharata dan Ramayana sebagai sumber cerita lakon pertunjukan wayang adalah murni sebagai pesan nilai agama Hindu. Tetapi perlu diingat, bahwa Mahabharata yang digunakan oleh pewayangan Jawa dewasa ini telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dari sumber aslinya. Nilai-nilai budaya India yang dipandang tidak sesuai dengan nilai Jawa banyak yang disesuaikan. Sebagai contoh, Drupadi di India adalah istri kelima Pandawa, tetapi dalam pewayangan Jawa diceritakan bahwa Drupadi hanya istri dari Puntadewa. Hal ini tentu dipengaruhi oleh nilai Jawa yang tidak mengenal budaya “poliandri”. Selain itu, cerita wayang juga tidak mutlak bermuatan nilai Hindu ataupun Jawa saja, bahkan muatan Islam atau pun Kristen juga ada di dalamnya. Sebagai contoh kecil, kita dapat menyimak pada lakon Laire Semar. Dalam lakon tersebut kehadiran tokoh Sulaiman yang ternyata memiliki kapasitas peran yang “hampir sama” dengan kapasitas Nabi Sulaiman dalam Islam menunjukan bagaimana adanya sinkretisme antara Islam-Jawa-Hindu. Lakon tersebut juga menghadirkan tokoh Prawan Maryam dengan anaknya bayi kecil (baca: Yesus), ini berarti juga memuat sinkretisme Jawa-Hindu-Kristen. Artinya, jika kita berbicara falsafah wayang purwa maka tidak lepas dari sinkretisme berbagai nilai, yaitu Jawa, Hindu, Islam, Kristen, dan mungkin ajaran lainnya yang belum saya ketemukan. Wayang bukan suatu kesenian yang ber-idium tunggal, melainkan seperti sebuah adonan dalam wadah yang telah tercampur aneka resep dan bumbu; tetapi tetap memiliki rasa yang enak; jika itu sebuah makanan maka tetap membutuhkan kesatuan nama yang tunggal (utuh), tetapi makna “utuh” bukan sebagai representasi otoritas ke-esaan melaikan sebuah otoritas kolektif. Oleh sebab itu, jika kemudian ada suatu golongan yang melarang wayang maka itu bisa diibaratkan hanya karena orang tersebut “tidak selera” atau “tidak boleh” mengkonsumsi makanan tersebut. Alasannya tentu bervariatif, bisa karena tidak suka, tidak enak, tidak boleh dimakan karena sebuah pantangan (misalkan dia sakit), atau karena alasan apapun. Pastinya itu hanya bersifat subjektif atau selera personal, dan sama sekali tidak merubah “rasa” atau nilai hakekat dari makanan (wayang) itu sendiri.
Uraian tersebut menunjukan bagaimana seharusnya kita mampu berpikir bijak dan kreatif dalam menyikapi. Saya pikir satu hal yang perlu dipegang dan dipakai sebagai landasan utama dalam kegiatan apapun termasuk kesenian, yaitu berpegang pada “nilai hakekat hidup kemanusian”. Selama itu menjadi akar dari sebuah karya maka persoalan asumsi dan opini yang subjektif bukan menjadi alasan sebagai sebuah “kemunduran” atau bahkan “kehancuran”.
Pada akhirnya, jika kita melihat harmonisasi wayang yang secara historis ikut berperan serta terhadap perkembangan Islam di Jawa; artinya dalang juga berdakwah dan bersyiar pada masa itu; dan kompleksitas wayang yang memuat ajaran Islam meskipun hanya “tersirat”; semestinya dapat digunakan sebagai orientasi religius yang akhirnya lebih Islami, nJawani, menyejukan, dan bukan yang radikal, anti budaya lokal, atau bahkan anarkis. Budaya dan agama ibarat dua sisi besi rel kereta api, berjalan berdampingan, serasi, sejajar, saling melengkapi, dan saling membutuhkan; karena jika salah satunya rusak atau tiada maka akan menimbulkan bencana. Sebelum saya akhiri, mungkin kita perlu kembali memegang teguh pendapat empu-empu terdahulu, bahwa “selama masih ada orang nJawani, maka Wayang juga akan tetap ada”. Apakah sekarang masih ada orang nJawani? Silahkan Anda menjawabnya sendiri.
Demikianlah sekelumit pikiran yang merasuk dalam hati saya ketika melihat fenomena yang akhir-akhir ini cukup meresahkan. Terlepas dari kepentingan apapun baik bagi saya atau dari pihak manapun, yang pasti saya sangat berharap wayang tetaplah lestari sebagai simbol kebudayaan orang Jawa yang arif dan bijaksana. Sehingga tidak ada alasan untuk membencinya apalagi menghancurkannya. Salam budaya.
(Catur Nugroho)

Sabtu, 19 Maret 2016

Tokoh Wayang Arjuna

Salam budaya,
Pada kesempatan ini saya ingin berbagi pengetahuan mengenai tokoh wayang yang cukup populer, yaitu Arjuna. Tokoh yang merupakan bagian dari Pandawa ini cukup terkenal dibandingkan dengan tokoh lainnya atau bahkan dengan keempat saudaranya. Kepopulerannya tidak lain oleh karena ketampanan dan kesaktiannya yang istimewa. Bahkan dalam suatu cerita, yakni Arjuna Wiwaha: Tokoh Arjuna menjadi seorang pertapa (pendeta) yang sangat sakti. Suatu ketika Kahyangan Suralaya kedatangan raseksa Prabu Newatakaca yang berniat mengawinni Bathari Supraba. Dewa mencoba menghentikannya, tetapi apa daya semuanya kalah. Pada akhirnya, dewa meminta bantuan pada Arjuna. Dia kemudian berhasil membunuh raseksa tersebut dan memperoleh anugerah berupa pusaka sakti dan bidadari-bidadari yang cantik.
Kesaktian Arjuna tidak lain oleh karena ia memiliki beberapa pusaka sakti pemberian para dewa, antara lain:
1. Pulanggeni
2. Sarotama
3. Pasoepati
4. Dan lain-lain.
Selain sakti, Arjuna juga dikenal sebagai tokoh yang tampan. Bahkan oleh sebagian orang, ketampanan Arjuna sering dipakai sebagai simbol lelaki yang istimewa dan sempurna. Oleh karena itu, Arjuna juga disebut sebagai "lelananganing jagat." Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika dalam pewayangan Arjuna memiliki banyak istri yang cantik nan jelita, antara lain:
1. Sembadra
2. Srikandi
3. Supraba
4. dan masih banyak lagi.
Selain itu kita juga perlu mengetahui bahwa Arjuna memiliki banyak nama, yaitu:
1. Janaka
2. Permadi
3. Parta
4. Kumbang Ali-Ali
5. Indra Tanaya
6. dan sebagainya.
Arjuna juga dipandang memiliki karakter yang bijaksana. Dia adalah kesatria yang senantiasa menumpas angkara murka demi terciptanya dunia yang aman dan tentrem. Maka sering kali Arjuna oleh sebagian orang dianggap sebagai figur favorit yang dibanggakan.
Dalam beberapa kisah, Arjuna juga diceritakan sering menerima wahyu atau anugerah dari Sang Kuasa. Misalnya Wahyu Makutharama yang dianggap sebagai wahyu kerajaan. Pencapaian ini tidak lain karena Arjuna gemar bertapa dan berdoa terhadap Sang Pencipta. Maka tidak mengherankan jika ia akhirnya memperoleh anugerah'Nya.
Arjuna dalam kehidupannya sangat akrab dan sangat dekat dengan saudaranya yaitu Prabu Kresna raja di Dwarawati. Mereka sering pergi bersama-sama dan saling melengkapi. Kresna adalah pembimbing bagi Arjuna. Jika kita mengintip cerita Baratayuda Jayabinangun, keberhasilan Arjuna sebagai senapati hingga mampu membunuh senapati lawan dengan begitu gagahnya tidak lain juga karena petunjuk dan arahan dari Kresna.
Mungkin itu saja yang saat ini sempat saya tulis. Mungkin di waktu lain akan saya tambah lagi ulasannya sehingga cukup menambah pengetahuan dasar tentang pengenalan tokoh Arjuna. Jika ada yang ingin menambahkan atau mengoreksi silahkan. Terimakasih. Salam budaya.

Nb: Foto Arjuna saya ambil dari blog Abiyyi.