Tayangan halaman minggu lalu

Sabtu, 08 Juli 2017

Musik Angklung

Angklung
photo by www.gambarberkata.com
(Catur Nugroho)
Angklung merupakan alat musik multitonal, artinya alat tersebut memiliki nada ganda. Angklung berkembang dalam masyarakat Sunda di Jawa Barat. Alat musik ini terbuat dari bambu kemudian dimainkan dengan cara digoyangkan. Bunyi dihasilkan oleh benturan badan pipa bambu sehingga menimbulkan nada yang bergetar pada susunan 2,3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran. 
Angklung merupakan salah satu alat musik Nusantara yang memperoleh pengakuan dari UNESCO pada tahun 2010 sebagai "Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia".

Asal-usul Angklung
Angklung diperkirkan sebagai warisan dari bagian relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara. Referensi pustaka mengenai Angklung baru muncul mulai abad ke-12 sampai abad ke-16. Musik Angklung bagi sebagian masyarakat Sunda yang agraris selalu identik dengan mitos Dewi Sri. Oleh karena itu, sering ditemui mereka menggunakan musik Angklung dalam ritual-ritual penanaman padi. Lebih dari itu, alunan suara Angklung dipercaya mampu memikat Dewi Sri untuk turun ke dunia sehingga tanaman padi tumbuh subur.

Bahan Dasar Pembuatan Angklung
Ada dua jenis bambu yang dianggap bagus sebagai bahan dasar pembuatan Angklung, yaitu jenis bambu hitam (wulung) dan jenis bambu ater apabila mengering akan berwarna kuning keputihan.

Filosofi Fungsi Angklung
Angklung dipercaya sebagai alat musik penggugah semangat sejak era kerajaan Sunda hingga pada zaman penjajahan Belanda. Oleh sebab itu, pada masa penjajahan Belanda sempat melarang masyarakat Sunda untuk memainkan Angklung.

Perkembangan Musik Angklung
Seiring perkembangan zaman, musik Angklung mulai tersebar ke seluruh Jawa, Sumatra, hingga Kalimantan. Bahkan musik Angklung sempat berkembang di Thailand pasca misi kesenian dari Indonesia ke negara tersebut. Pada sekitar tahun 1966 ada tokoh angklung yang mulai mengembangkan teknik laras pelog, slendro, dan madenda. Selain itu, dia juga mulai mengajarkan teknik memainkan Angklung kepada komunitas-komunitas.

Jenis Angklung
Terdapat beberapa jenis Angklung, yaitu:

  1. Angklung Kanekes, yang terdiri atas indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
  2. Angklung Reyog, merupakan Angklung dari Ponorogo Jawa Timur yang digunakan untuk mengiringi tarian reyog. 
  3. Angklung Banyuwangi
  4. Angklung Bali
  5. Angklung Dogdog Lojor
  6. Angklung Gubrag
  7. Angklung Badeng
  8. Angklung Padaeng
  9. Angklung Sarinande
  10. Angklung Toel
  11. Angklung Sri Murni
Teknik Permainan Angklung
Memainkan angklung sangatlah mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan, sementara tangan lainnya menggoyangkannya hingga berbunyi. Paling tidak ada tiga teknik dasar memainkan Angklung, yaitu:
  • kurulung (getar)
  • centok (sentak)
  • tangkep
Penutup
Demikianlah sekilas informasi menganai musik Angklung. Semoga bermanfaat bagi Anda yang ingin belajar  Angklung atau paling tidak kita mengenal salah satu musik khas nusantara yang indah ini. Jika menurut Anda informasi ini penting silahkan dibagikan agar banyak yang mulai mengenal musik Angklung dan tentunya lebih cinta pada budaya kita sendiri. Terimakasih.

Jumat, 07 Juli 2017

KESENIAN KENTRUNG

Kesenian Kentrung
Photo by inilahblitar.blogspot.com
(Penulis: Catur Nugroho)
Kesenian Kentrung adalah seni bertutur atau bercerita dengan berpantun. Dalam pertunjukannya biasa diiringi oleh alat musik rebana. Seiring perkembangan zaman instrumen yang digunakan untuk mengiringi Kesenian Kentrung tidak hanya rebana, melainkan ditambah alat lainnya, seperti kendang, kecrek, kethuk, kenong, saron, dan jedhor. Seni ini dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu dengan panjak.

Penyebaran Kesenian Kentrung
Kesenian Kentrung hidup dan berkembang tersebar di daerah-daerah di Jawa Timur, yaitu wilayah pesisir wetan, meliputi Tuban, Blitar, Kediri, Tulungagung, dan Ponorogo. Selain itu, Kesenian Kentrung juga ada di daerah Grobogan, Blora Jawa Tengah, dan di Madura serta Bondowoso. 

Perkembangan Kesenian Kentrung
Tidak jauh berbeda dengan nasib kesenian lokal lainnya, saat ini keberadaan Kesenian Kentrung dapat dikatakan hampir punah. Bagaimana tidak, menurut data hingga tahun 2013 di daerah Blora hanya ada satu orang dalang Kesenian Kentrung, yakni Januri (43 tahun). Kenyataan seperti ini meyebabkan Kesenian Kentrung tidak lagi eksis di kalangan masyarakat, apalagi generasi muda. Dapat diperkirakan bahwa Kesenian Kentrung hanya akan tinggal sejarah jika tidak ada generasi penerusnya. Oleh sebab itu, pemerintah dalam ini sepatutnya memberikan epresiasi serta perhatian khusus bagi Kesenian Kentrung sehingga keberadaannya dapat dipertahankan sebagai salah satu aset budaya yang luhur. 

Sejarah Kesenian Kentrung di Blora
Referensi menyebutkan bahwa Kesenian Kentrung di Blora sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1915. Tidak dapat dipastikan siapa orang yang pertama kali menciptakan kesenian kentrung tersebut. Beberapa tokoh seniman ketrung yang dikenal oleh masyarakat Blora ialah Reso Kentrung dan Nugroho. Perkembangannya hanya ditularkan melalui media oral atau lisan. Pada generasi berikutnya, Kesenian Kentrung di Blora diteruskan oleh dua dalang yang cukup populer, yaitu Sutrisno (1935-2003) mulai tahun 1965; dan Mbah Yas pada tahun 1983. Sutrisno adalah seniman yang eksis di bidangnya, ia belajar kentrung sejak masih muda. Dia juga sudah sering pentas dalam berbagai acara baik kegiatan formal maupun informal. Dia meninggal dunia pada tahun 2003 di usia ke 68 yang kemudian karirnya diteruskan oleh anaknya yang ketiga, yaitu Januri. 

Unsur Estetis dan Etis Kesenian Kentrung
Sebagaimana sebuah kesenian tradisi maka sudah pasti dalam pertunjukannya menampilkan unsur-unsur estetis dan etis di dalamnya. Unsur estetis dalam Kesenian Kentrung dapat dicermati pada sajinnya yang memperhitungkan tinggi-rendah, keras-lunak, tempo, irama, dan aksentuasi suara sehingga lebih dinamis dan tidak monoton. Ekspresia wajah serta bahasa tubuh yang dipadukan dengan harmonisasi iringannya menempatkan Kesenian Kentrung sebagai sebuah seni lokal yang penuh estetika (keindahan). Adapun nilai etis dalam Kesenian Kentrung dapat dipahami pada makna atau pesan yang disampaikan melalui sebuah cerita. Nilai-nilai yang ditampilkan selalu mengarah pada kebaikan, budi pekerti, sopan santun, dan sebagainya. Nilai-nilai Islami juga begitu kental dalam pertunjukan tersebut.

Bentuk Sajian Seni Kentrung Blora
Kesenian Kentrung pada dasarnya ditampilkan oleh penyaji yang berjumlah antara satu sampai tiga orang yang beragama Islam. Instrumen yang digunakan, yaitu kendang, ketipung, dan kethuthung. Dalang memegang alat kentrung yang sekarang berupa rebana berjumlah tiga buah dengan ukuran yang berbeda-beda. Adapun panggung yang digunakan biasanya berukuran 1,5 m x 2 m. Adapun cerita yang dipentaskan dalam pertunjukan kentrung dibagi menjadi dua jenis, yaitu cerita bernafaskan Islam dan cerita mengenai sejarah atau legenda. Syair, parikan, dialog, dan cerita disampaikan dengan nada slendro, pelog, dan diatonis. Waktu pertunjukan biasanya pada malam hari dengan durasi yang bervariasi, antara satu atau dua jam bahkan semalam suntuk. 

Pengembangan Kesenian Kentrung
Keberadaann kesenian kentrung kian hari semakin menurun eksistensinya. Masyarakat dipandang kurang begitu tertarik untuk menikmatinya. Oleh karena itu, para seniman terus berjuang untuk bertahan, yaitu salah satunya dengan meningkatkan kualitas pertunjukannya, misalkan penambahan cerita baru yang lebih komunikatif. Di samping itu, pemerintah setempat (Kabupaten Blora) bekerjasama dengan RSPD telah menyiarkan pertunjukan kentrung secara berkala.




Sumber Pustaka:
Sunarto, "Kesenian Kentrung: Makna, Fungsi, dan Pengembangannya". Dalam Jurnal Lakon Vol. X No. 2, Desember 2013.